Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Moderasi Beragama Tangkal Radikalisme



Oleh : Muhammad Yasin )*

Radikalisme masih menjadi ancaman bangsa yang dapat memicu perpecahan. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan moderasi beragama sebagai salah satu  cara untuk meredam penyebaran paham anti Pancasila tersebut.  

Pernahkah Anda membaca berita tentang serangan bom yang dilakukan oleh kelompok teroris dan radikal? Radikalisme adalah salah satu permasalahan di Indonesia, karena penganutnya memecah-belah perdamaian. Mereka menggunakan kedok dan mengancam, bahkan dengan kekerasan dan senjata tajam.

Padahal radikalisme tentu tak dapat dibiarkan karena bisa mengambil nyawa orang lain yang tidak bersalah. Sehingga kelompok radikal wajib dibasmi di Indonesia. Radikalisme juga harus ditangkal, agar tidak ada lagi korban-korban yang tumbang karenanya.

Athor Subroto, Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI menyatakan bahwa moderasi beragama (prinsip beragama yang  moderat) selalu dikumandangkan untuk meneruskan pola regenerasi di Indonesia yang dapat menangkal radikalisme dan terorisme. Moderasi beragama harus disebarkan di seluruh Indonesia.

Selama ini agama adalah sesuatu yang sensitif untuk dibahas, tetapi kita tak ragu untuk memplokamirkan moderasi beragama. Tujuannya bukan untuk saling membandingkan, melainkan justru untuk mengobarkan semangat dalam menangkal terorisme. Ketika seseorang mempraktikkan moderasi beragama, maka ia menjalankan ibadah dan ritual dengan moderat.

Dalam artian, jika seseorang beragama dengan moderat maka tetap menjaga ibadah dengan Yang di Atas, sekaligus menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Ia tak ragu untuk bergaul, tak hanya dengan sesama kawan yang seagama, tetapi juga dengan yang memiliki keyakinan lain. Penyebabnya karena ada rasa saling menghormati dan selalu toleransi (dalam hal yang positif).

Jika moderasi beragama digaungkan ke seluruh Indonesia maka hasilnya akan sangat bagus. Indonesia adalah negara yang majemuk dan memiliki 6 keyakinan yang diakui negara. Umat dengan keyakinan yang berbeda bisa bergaul akrab, tanpa saling menyerang atau menyalahkan. Mereka tetap kompak karena merasa bagai saudara dalam kemanusiaan.

Jika masyarakat kompak, walau keyakinannya berbeda, maka tidak akan mudah dipecah-belah oleh kelompok teroris.  Misalnya ketika ada serangan bom di sebuah rumah ibadah agama tertentu, maka umat itu tidak akan menyalahkan orang lain yang berkeyakinan sama dengan pengebom. Penyebabnya karena mereka percaya bahwa pengebom hanyalah oknum dan bukan mencerminkan umat dengan keyakinan tertentu.

Athor Subroto menambahkan, untuk menjaga ruh kebhinekaan atau keragaman, maka perlu beragama secara moderat. Pasalnya di Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dan 6 agama, sehingga keberagaman ini tidak akan bertikai, jika ada moderasi beragama. Jika semua orang berpikiran moderat tentu tidak akan saling menyalahkan.

Keberagaman agama menjadi salah satu pemicu radikalisme di Indonesia. Ketika ada perbedaan keyakinan dan salah satu, yakni kelompok radikal, terlalu fanatik, maka di situlah awal dari perpecahan. Mereka terlalu memakan mentah-mentah tanpa mempelajari asbabul nuzul (penyebab turunnya ayat). Padahal ayat turun pasti ada sebabnya dan riwayatnya, sehingga tidak bisa serta-merta diaplikasikan di era modern.

Misalnya ayat tentang jihad. Dulu memang ada jihad untuk membela umat yang tersakiti, tetapi di zaman modern tidak bisa langsung berjihad dengan menghunuskan pedang dan mengancam umat dengan keyakinan lain. Hal ini malah bisa dikategorikan tindakan kriminal. Seharusnya jika berjihad maka bekerja bisa dikategorikan jihad, karena berjuang demi sesuap nasi bagi anak-istrinya, dan berpahala. Bukan dengan mengancam orang lain.

Moderasi beragama wajib disosialisasikan ke seluruh Indonesia, karena ia bisa menangkal radikalisme. Jika banyak orang yang moderat, maka tidak akan terpengaruh oleh hasutan kelompok radikal. Selain itu, ketika beragama dengan moderat maka ia tidak memakan mentah-mentah, tanpa mempelajari asbabun nuzul.


)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute