Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemuka Agama Ujung Tombak Pencegahan Radikalisme dan Intoleransi


Oleh : Ismail )*

Pemuka agama merupakan ujung tombang pencegahan radikalisme dan intoleransi. Dengan adanya peran aktif pemuka agama, maka diharapkan paham anti Pancasila tersebut dapat diredam.

Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid selaku Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan, para pemuka agama merupakan ujung tombak dalam upaya pencegahan penyebaran radikalisme dan terorisme di tengah masyarakat.

Dalam keterangan tertulisnya, Akhmad Nurwakhid mengatakan, selama ini kelompok radikal kerap membungkus upaya penyebaran pahamnya dengan motif agama. Padahal, hal tersebut tentunya sangat merugikan dan juga memfitnah agama tersebut. Sehingga keberhasilan dalam menanggulangi radikalisme dan Intoleransi menurutnya ada pada peran pemuka agama.

Dirinya juga menghimbau agar para tokoh pemuka lintas agama untuk senantiasa mendoakan keberhasilan dan kesuksesan penanggulangan radikalisme terorisme yang telah diusahakan melalui program Gugus Tugas Pemuka Agama.

Mantan Bagian Banops Densus 88 Antiteror Mabes Polri ini juga mengatakan, semua tokoh pemuka agama hendaknya lebih menonjolkan hal-hal yang sifatnya spiritual, yang tercerminkan dalam perilaku akhlakul karimah, serta terus menyampaikan hal-hal baik tersebut kepada umat.

Ia mengatakan, perlu disampaikan pula kepada umat, bahwa semua aksi radikalisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun, tetapi terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang menyimpang.

Akhmad Nurwakhid juga menuturkan, aksi radikalisme merupakan musuh semua agama. Hal tersebut dikarenakan sangat bertengangan dengan nilai-nilai dan prinsip agama yang menjaga persatuan, perdamaian dan rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Perlu kita ketahui bahwa akar masalah radikalisme adalah ideologi keagamaan yang menyimpang atau pemahaman yang terdistorsi. Selain itu, salah satu faktor pemicu munculnya niat atau motif radikalisme adalah politisasi agama atau menggunakan doktrin agama yang dipolitisasi untuk kepentingan politik.

Radikalisme bisa tumbuh salah satunya karena kurang tafsir-tafsir ilmu dalam konteksnya. Paham tersebut bisa dibenahi, antara lain dengan memahami kajian bahasa arab yang benar.

Jangan sampai ada konten yang asal nyomot bahasa arab lantas kita menganggapnya sebagai bahasa agama. Hal ini tentu harus dibenahi karena pemahaman terhadap kajian arab yang benar dapat digunakan untuk menangkal radikalisme.

Sejumlah aksi radikalisme yang terjadi di Indonesia dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Hal ini terjadi karena agama paling mudah digunakan sebagai alat untuk berbagai kepentingan.

Tentu saja masyarakat harus berhati-hati dalam melibatkan agama dalam hal apapun. Sebab, tidak sedikit pihak yang menggunakan agama untuk membela diri dan tujuan lainnya. Aksi radikalisme yang mengatasnamakan agama biasanya tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Melainkan ada kepentingan atau masalah lain di belakangnya.

Tentu saja kita masih ingat, dimana penganut paham radikal amatlah frontal dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2019. Segala narasi tentang kehancuran negara karena memilih pemimpin tertentu juga masih sering terdengar.

Peran pemua agama sangat penting demi membentuk karakter dan moral masyarakat melalui pendidikan agama yang benar sehingga dapat mereduksi paham radikal intoleran yang berpotensi memicu aksi teror.

Tentu saja diperlukan sinergitas antara pemerintah dalam hal ini BNPT dengan pemuka agama untuk dapat bersama-sama melakukan upaa moderasi dalam kehidupan beragama, menjelaskan sikap-sikap ekstrimisme dalam kegiatan beragama yang tentunya dapat bersinggungan dengan agama satu dengan lainnya karena kita menyadari bahwa negara Indonesia memiliki keberagama dari sisi agama.

Kita harus sadar bahwa toleransi bukanlah sekadar istilah dan penegasan akademik semata, tetapi praktik keberagaman dalam menyikap keragaman. Toleransi membutuhkan aksi nyata dalam setiap tindakan. Karena itulah, mengarusutamakan prinsip, wawasan, dan praktik toleransi di tengah masyarakat yang Bhineka adalah sebuah keniscayaan. Bahkan , Nabi Muhammad SAW juga melarang umat Muslim untuk menyebabkan rasa sakit atau cedera pada orang lain.

Radikalisme dan Intoleransi merupakan sikap yang sama-sama melukai, semangat Bhineka Tunggal Ika haruslah digelorakan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga pemuka agama agar para pengikutnya dapat hidup berdampingan dalam perbedaan secara damai.


)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute