Waspada Tokoh Penyebar Paham Radikal
Oleh : Abdul Majid )*
Radikalisme merupakan hal yang patut diwaspadai, paham ini jika dibiarkan justru dapat merusak keharmonisan kehidupan antar masyarakat di Indonesia. Diperlukan pengawasan terhadap tokoh-tokoh yang berpotensi membawa agen radikalisme.
Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid selaku Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menanggapi topik terkait dengan penceramah radikal yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo pada kesempatan Rapat Pimpinan TNI-Polri di MABES TNI.
Ahmad menyebutkan pernyataan Presiden tersebut sebagai peringatan kuat untuk meningkatkan kewaspadaan nasional. Oleh karenanya, masalah ini harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah dan masyarakat pada umumnya tentang bahaya radikalisme.
Nurwakhid telah menegaskan “Sejak awal BNPT sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini karena sejatinya radikalisme merupakan paham yang menjiwai aksi terorisme. Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.”
Untuk mengetahui penceramah radikal, Nurwakhid mengurai beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi yang disampaikan bukan tampilan penceramah. Setidaknya ada lima indikator yang disampaikannya. Pertama, mengajarkan ajaran untuk anti terhadap Pancasila dan pro Ideologi Khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech dan sebaran hoax. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Dan Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan.
Nurwakhid juga menuturkan, untuk mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan dan keragaman.
Sejalan dengan hal tersebut, Nurwakhid juga menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melaui berbagai strategi yang menanamkan doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.
Terdapat tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok penganut paham radikal, yaitu ; Pertama, mengaburkan, menghilangkan, bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA.
Strategi ini dilakukan dengan mempolitisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan kebudayaan luhur bangsa. Proses penanamannya dilakukan secara masif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.
Hal ini yang semestinya menjadi kewaspadaan bersama untuk kemudian memutus penyebaran infiltrasi radikalisme. Salah satunya adalah denga tidak mengundang penceramah radikal ke ruang edukasi keagamaan masyarakat.
Secara Historis, gerakan – gerakan pemikiran keagamaan radikal yang bersifat transnasional telah berkembang semenjak 3 dekade terakhir di Kota Bogor.
Pasca Orde baru, gerakan radikalisme semakin terbuka dan menyasar ke kampus – kampus, sebagai basis penyebaran indoktrinasi di kalangan akademisi dan mahasiswa tentang pemahaman agama yang sempit. Di sini, sebagian mahasiswa yang terpapar paham radikal mulai berani menyuarakan paham khilafah.
Radikalisme dapat menjadi embrio lahirnya ekstrimisme bahkan terorisme. Untuk itu dibutuhkan peran dan perhatian semua pihak dalam upaya menangkal ancaman tersebut di tengah tantangan era keterbukaan informasi saat ini.
Ideologi pemurnian keagamaan pendekatan radikal merupakan salah satu ancaman yang sangat serius bagi keberlangsungan suatu bangsa dan perlu disikapi secara bersama-sama oleh semua pihak.
Saat ini jaringan teroris sudah terbuka dan tidak tertutup seperti dahulu dalam merekrut anggotanya. Ha ini ditunjang dengan adanya internet yang memungkinkan siapapun dapat mengakses konten radikal lalu kemudian mendaftarkan dirinya untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Tentu saja masyarakat harus lebih berhati-hati dan selektif dalam mengundang penceramah. Jangan sampai kita mengundang penceramah radikal dengan mengatasnamakan demokrasi.
Tentu harus berhati-hati dalam mengundang tokoh yang kerap menunjukkan antipatinya terhadap Pancasila, karena Pancasila adalah dasar negara yang tidak bisa tergantikan.
Penyebar paham radikal haruslah diwaspadai, karena tidak semua masyarakat memiliki “imun” terhadap paparan paham radikal yang bisa menyesatkan seseorang untuk meninggalkan rasa nasionalismenya.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute