Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hindari Politik Identitas dan Saatnya Wujudkan Politik Gagasan

Oleh : Safira Tri Ningsih )*

Pemilu 2024 sudah di depan mata dan sebentar lagi akan memasuki masa kampanye. Masyarakat diberi pesan agar menghindari politik identitas yang merupakan sebuah aksi yang menonjolkan etnis atau identitas tertentu. Seharusnya politik identitas diganti dengan politik gagasan yang tidak memandang latar belakang seseorang.

Masa kampanye adalah masa yang mendebarkan, karena masyarakat melihat promosi dari calon presiden (Capres) dan partai-partai di Indonesia. Mereka kemudian menanti siapa partai dan capres pemenang Pemilu, karena tahun 2024 nanti Indonesia punya presiden baru.

Namun sayang, ketika masa kampanye yang hadir justru politik identitas. Di mana terdapat aksi politik yang menonjolkan latar belakang, suku, dan budaya tertentu. Pengamat politik Achmad Fachrudin menyatakan bahwa politik identitas adalah aliran politik yang melibatkan seseorang atau kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik, contohnya etnis, gender, dll. Tujuannya adalah mencapai kekuasaan atau jabatan.

Misalnya ada capres A yang berasal dari warga keturunan dan merupakan lulusan luar negeri. Ada pula capres yang asli Indonesia yang menonjolkan pengalamannya sebagai pemimpin di suatu kota.

Politik identitas sangat berbahaya karena bisa menganggap orang yang tidak satu keyakinan atau etnis adalah musuh. Bahkan bisa dipakai oleh seorang politisi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Caranya dengan menggiring opini publik bahwa seorang capres tidak layak menjadi pemimpin karena berasal dari etnis tertentu.

Ketika ada kampanye yang menggunakan politik identitas maka berbahaya karena bisa memunculkan diskriminasi dan rasisme. Terdapat stereotip yang menganggap bahwa capres yang berasal dari etnis tertentu orangnya pelit, emosional, dll. Padahal itu hanya tuduhan yang tidak berdasarkan fakta, dan dilontarkan oleh provokator yang ingin mengacaukan masa Pemilu di Indonesia.

Politik identitas bisa memecah-belah bangsa karena rakyat jadi terpisah menjadi beberapa kubu. Ada yang membela capres tertentu yang dianggap agamis, sementara ada yang mencintai partai tertentu yang nasionalis.

Kecintaan terhadap capres yang berlebihan, ditambah dengan politik identitas yang digunakan oleh timnya, membuat masyarakat bertengkar dan bermusuhan, bahkan setelah Pemilu berakhir. Perbedaan itu biasa dan tidak dipermasalahkan, namun gara-gara politik identitas, perbedaan menyebabkan pertikaian dan merusak perdamaian di Indonesia.

Masyarakat harus menghindari politik identitas jika ingin Pemilu 2024 berjalan dengan lancar. Jangan termakan oleh propaganda yang disebarkan oleh provokator, yang menyebutkan bahwa capres dengan etnis tertentu tidak punya kemampuan untuk memimpin Indonesia.

Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk menghindari politik identitas dan beralih ke politik gagasan. Pengamat politik Djayadi Hanan menyatakan bahwa politik gagasan adalah ketika seseorang tidak melihat latar belakang seseorang. Yang dilihat adalah gagasannya, bukan etnis aau keyakinannya. Ketika dilihat idenya bagus maka akan didukung oleh rakyat.

Djayadi menambahkan, untuk mensosialisasikan politik gagasan maka partai politik harus memprakarsainya. Kampanye partai diusung dengan gagasan yang baik, misalnya bersih dan peduli. Ada juga kampanye untuk memberi semangat kepada anak muda Indonesia untuk terus berwirausaha karena UMKM adalah tulang punggung perekonomian negara.

Dalam artian, kampanye tidak mengedepankan latar belakang pendidikan atau etnis dari capres tertentu. Namun memberi tahu gagasan-gagasan yang dibawa olehnya. Misalnya ia ingin mengentaskan kemiskinan di Indonesia dengan cara mendirikan banyak sekolah gratis dan memberikan beasiswa. Ia juga mendukung pengusaha UMKM dengan cara mempromosikan di akun media sosialnya.

Sudah saatnya politik gagasan menggantikan politik identitas karena politik identitas sudah basi. Di era reformasi dan teknologi informasi, tidak ada kaitan antara etnis atau latar belakang tertentu dengan kecakapan menjadi seorang pemimpin. Yang dilihat adalah gagasan dan perwujudannya untuk memajukan Indonesia.

Misalnya dulu ketika era Orde Baru ada anggapan seorang pemimpin harus berasal dari capres tertentu atau memiliki pengalaman memimpin yang disiplin. Padahal di era reformasi terbukti ada presiden yang tidak memiliki kriteria tersebut, tetapi berhasil menstabilkan kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter.

Namun Djayadi mengingatkan untuk tidak hanya mengutarakan gagasan, tetapi juga mewujudkannya. Janji-janji yang diberikan oleh partai politik dan capres harus ditepati ketika ia memenangkan Pemilu. Ketika janji ditepati maka masyarakat akan selalu menghormati pemerintah dan tidak akan golput pada Pemilu selanjutnya.

Masyarakat sudah paham mana partai dan capres yang mengusung politik gagasan, dan mana yang masih berkutat pada politik identitas. Mereka sudah makin cerdas dalam memilih partai dan capres, yang pro rakyat, anti kemiskinan, dan punya tekad kuat untuk memimpin Indonesia. Bukannya menggunakan politik identitas untuk mencari simpati dan hanya ingin memperkaya diri sendiri.

Politik identitas sangat berbahaya karena bisa memecah-belah bangsa, karena saat ada rakyat dengan keyakinan, latar belakang, atau etnis yang berbeda akan dimusuhi. Oleh karena itu politik identitas harus diganti dengan politik gagasan yang memandang gagasan dari suatu capres sebagai janji yang akan ditepati. Dengan gagasannya maka optimis Indonesia akan lebih maju lagi.

)* Penulis adalah kontributor Kontributor Daris Pustaka