[Tanpa judul]
Parpol Baru Harus Berinovasi Sajikan Narasi Distingtif
Jakarta – Parpol baru atau parpol non-parlemen menghadapi persaingan ketat melawan parpol-parpol yang sudah ada sebelumnya dalam Pemilu, utamanya untuk meraih dukungan dan melewati electoral threshold 4%. Berdasarkan temuan Kompas, terlihat bahwa dukungan pemilih masih terbatas, hanya sekitar 15 persen saja.
Pemerhati isu-isu global dan strategis, Prof Dubes Imron Cotan menjelaskan bahwa untuk bisa merebut dukungan pemilih dan lolos electoral threshold, parpol baru dan parpol non-parlemen ditantang untuk bisa menghadirkan gagasan-gagasan baru dan segar, termasuk menawarkan solusi bagi persoalan yang dihadapi Generasi Milenial dan Generasi Z, yang jumlahnya sekitar 50 persen dari 206 juta pemilih (BPS, 2022).
"Penonjolan tokoh lokal berwawasan nasional dan global juga penting untuk memecah dominasi elit politik yang tertumpuk di kota-kota besar di Pulau Jawa. Kontestasi 2024 membuka peluang tersebut," pungkasnya.
"Hal penting yang perlu dicatat adalah Generasi Milenial dan Generasi Z, terdeteksi tidak memiliki pilihan ideologi yang "fixed", selain terpaku pada gadget," imbuhnya dalam Webinar Nasional Moya Institute bertema "Tantangan dan Peluang Parpol Baru pada Pemilu 2024", Jumat, 21 Juli 2023.
Imron mengungkapkan, jika mampu menarik dukungan generasi muda tersebut memanfaatkan gadget, parpol baru memiliki potensi untuk menyundul eksistensi parpol yang telah lahir lebih dahulu.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfudz Siddiq menekankan adanya konsekuensi yang diterima parpol baru dengan dtetapkannya secara bersamaan antara Pilpres dan Pileg tahun 2024. Pada akhirnya, perhelatan yang digelar bersamaan waktunya itu membuat perhatian masyarakat secara besar lebih terkonsentrasi pada Pilpres dan meminggirkan isu tentang siapa saja yang akan lolos ke parlemen melalui Pileg.
“Parpol yang punya capres lebih diuntungkan sebab dapat mendongkrak elektabilitas partainya, berbeda dengan parpol baru. Hal ini menuntut upaya ekstra parpol baru untuk melakukan sosialisasi. Salah-satunya caranya memang ikut-ikutan meng-endorse capres tertentu,” tutur Mahfudz.
Namun dalam pandangan optimis, Ketua Harian Partai Perindo Tuan Guru Bajang Zainul Mazdi melihat di tengah berbagai tantangan yang ada, parpol baru masih memiliki peluang dan kesempatan besar untuk dapat lolos ke parlemen atau meraih kursi di DPR.
“Contoh partai saya sendiri Perindo yang dalam 1,5 tahun terakhir mengalami elektabilitas naik dan itu terus meningkat hingga saat ini. Hal ini membuktikan penerimaan publik terhadap parpol baru terus ada. Apalagi Perindo menjalankan program-program yang langsung menyentuh kehidupan kalangan bawah," jelasnya.
Beberapa faktor yang pengaruhi suara ke parpol, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, ada tujuh yaitu mempunyai tokoh yang memayungi semua dapil; citra parpol; perputaran mesin parpol; kemampuan memahami peta persaingan antar-parpol; kharisma kandidat di tingkat lokal; menyadari karakteristik pemilih; dan efek Pemilu.
"Parpol yang baru sebaiknya tidak bergantung kepada satu strategi saja guna meraup suara, tetapi perlu ditunjang pula dengan strategi yang cocok untuk tingkatan lokal, dengan mengusung tokoh-tokoh lokal populer," ungkap Djayadi.
Di samping itu, menurut Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto, bagaimana pun dinamisnya konstestasi politik dan demokrasi tahun 2024, Pemilu harus berlangsung secara demokratis, damai, dan dewasa sekaligus menghadirkan pemimpin yang mumpuni.
“Parpol lama dan baru sama-sama memiliki tantangan dan peluang. Narasi baru yang diusung mereka akan memberikan dampak yang berbeda. Identifikasi isu menjadi hal yang
paling utama untuk meyakinkan pemilih,” cetusnya.
*